Her Umbrella : A Story for The Mother’s Day

IMG_20161222_175731

Angin berdesir dengan riuh di antara pepohonan, awan kelabu menggantung di langit bersiap menumpahkan tetesan air ke permukaan bumi. Kedua gadis itu tengadah menatap langit di kejauhan. Saatnya pulang.

Ran mencengkeram ujung tali ranselnya saat hujan tiba-tiba mengguyur bumi tepat sebelum ia dan Ivi melangkah. “Yaaahh… keburu ujan”. Ia teringat payung lipat miliknya patah dan sobek di salah satu ujungnya. Ran melepas salah satu tali ransel, lalu memutar ransel ke arah depan untuk mengelurkan payungnya.

Ivi melirik dengan curiga. “Bukannya payung kamu sobek gara2 nyangkut di gerobak batagor?” tebaknya.

Ran nyengir. “Udahlah daripada nunggu di tempat sepi begini sampe hujan reda, nggak pa-pa lah malu dikit pake payung sobek,” ujarnya sembari memasukan tangan ke ransel untuk mengambil payung.

“Ogah ah. Norak. Lagian udah gede masa pake payung,” tandas Ivi.

Ran berdecak. “Gengsian banget sih. Padahal kalo sakit ngeluhnya kayak orang paling sengsara seduniㅡeh? Lho?” Ran mengernyit menatap payung yang tampak asing di tangannya. Bukan payung miliknya. Dan dia nggak merasa pernah melihat payung itu di rumahnya.

“Baru tuh? Kapan belinya?” tanya Ivi. Mereka selalu lengket ke mana-mana bareng. Dalam hal belanja pun pasti saling antar, dan Ivi yakin betul dia nggak pernah antar Ran beli payung itu.

Ran sedikit bengong saat mengalihkan pandangan ke sahabatnya. “Kayaknya ketuker punya orang deh,” bisik Ran.

Ivi menatap payung di tangan Ran dengan alis terangkat. “Ketuker di mana?”

Ran mengedikkan bahu.

“Bukan punya siapa gitu di rumah kamu? Mungkin ada yang baru beli,” tukas Ivi.

“Nggak deh kayaknya.” Tak urung Ran mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan mengapit payung lipat itu di ketiak. “Tapi coba aku tanya dulu deh. Daripada pake payung nggak jelas punya siapa kan? Gimana kalo ada cerita horor di balik keberadaan payung ini?”

Ivi mencolek pinggang Ran dengan muka ditekuk. “Jangan sembarangan ngomong dong. Udah nggak ada siapa-siapa di sini. Kalo didenger hantu gimana?”

Ran terkekeh. “Lah situ nyebut hantu frontal begitu. Bisa beneran datang nanti.”

Ivi manyun seraya mendekatkan diri pada Ran untuk mengintip obrolan Whatsapp Ran di group chat room keluarganya―juga buat nyembunyiin rasa takutnya yang tiba-tiba makin menjadi.

Ran : ada yg baru beli payung nih?

Abang : apaan? Nyindir atau pamer?

Ran : maksudnya? kok malah dibilang pamer sih? Ini lho

Ran melepas ikatan payung dan membukanya. “Pegangin, Vi. Aku mau foto.”

Bukannya meletakkan payung itu di bawah, Ivi malah menyampirkannya ke pundak dan berpose ke kamera. Ran menatapnya jengah. Ia mendesah saat menekan tombol kamera.

“Liat, liat!” Ivi berjinjit antusias untuk melihat foto yang ternyata langsung dikirim Ran tanpa dicek lebih dulu. Saat Ivi melihat matanya terperangkap di foto dalam kondisi setengah melek, gadis itu merengek-rengek protes minta fotonya dihapus.

Ran tertawa terbahak-bahak. Tampak sama sekali nggak berniat minta maaf. Ia memperbesar foto untuk menertawakan mata Ivi yang tinggal tersisa bagian putihnya.

Abang : si ipi kenapa matanya begitu? mabok duren lagi?

Ivi mendengus jengkel, lalu mencubit pipi Ran tanpa sungkan. Ya adiknya, ya kakaknya, sama-sama nyebelin.

Mam : cieee yang pake payung baru, langsung diojek sama ipi ya?

Ivi mengerang. “Kenapa mama jadi ikut-ikutan manggil aku Ipi sih?”

Ran terkekeh. “Namanya juga orang Sunda: F, V dan P sama-sama dibaca P.”

Ran : mama beli payung baru?

Mam : iya dong. Lucu kan?

Ran : kapan beli? Bukannya dari minggu kemarin sibuk bolak-balik ke dinas keuangan buat ngurusin aset kantor? Katanya lagi banyak rapat juga. apa nyuruh OB?

Abang : lho? Katanya OB di kantor mam udah resign?

Mam : iya. Makanya mama yang pergi belanja. Buat abang juga ada, tadi mama masukin tas, udah liat kan? dipake ya

Abang : lah mama, kok nggak bilang-bilang masukin payung ke tas? Lagian masa abang pake payung?

Mam : kalo hujan ya harus pake payung

Abang : tapi kan abang cowok mam. masa cowok pake payung sih? Nanti nggak keliatan manly

Ran : nggak pake payung juga situ udah keliatan nggak manly

Abang : apa sih bocah?

Abang : buat mam aja payungnya. Nanti ambil ya. Yang di rumah kan udah pada rusak. Abang lelaki perkasa kok. Sama ujan doang mah nggak bakal tumbang

Ran menatap layar ponselnya dengan ekspresi datar. Kakaknya benar-benar keras kepala. Tega banget dia menolak pemberian mama untuk mempertahankan penampilan biar tetep keren. Padahal mama berusaha meluangkan waktu demi membeli kebutuhan keluarganya di musim hujan. Ia melirik Ivi yang kini berkutat dengan ponselnya. Cewek itu juga sama aja. Menganggap ada batasan umur untuk pake payung. Kenapa sih ada aja orang yang anggap pake payung itu malu-maluin?

Mam : ini mama pake payung kok. Hadiah jalan santai dari bank kan masih bagus

Mam : mama baru pulang rapat, dikasih nasi dus empat, itu dapat dari kelebihan jatah, soalnya peserta yang lain banyak yang kabur duluan, nggak pa-pa kan makan malamnya nasi dus?

Mam : (mengirim foto beberapa payung yang sedang diperbaiki seorang kakek tak dikenal)

Mam : Mama bakal pulang kesorean, ini habis muter-muter nyari tukang sol sepatu yang sekalian suka benerin payung. Jaman sekarang susah deh nyari tukang. Orang-orang jarang benerin payung rusak kali ya? Kalo patah atau sobek langsung dibuang. Akhirnya ini berhasil nemu di pasar yang deket terminal, untung si bapaknya masih mangkal

Kedua jempol Ran menggantung di atas layar ponsel. Mempertimbangkan balasan untuk pesan panjang sang mama. Jujur ia bingung gimana harus merespon. Mama sampe bela-belain kelayapan di tengah cuaca hujan, pakai payung hadiah dari bank yang ukurannya besar dan nggak praktis buat dibawa naik turun angkot. Ran nggak pernah menolak saat mama menyuruhnya untuk memakai payung, tapi mama merelakan payung baru yang bentuknya lebih praktis dibawa orang seaktif mama, demi melihat anak-anaknya nggak kebasahan. Jelas mama capek setelah seharian rapat. Walaupun hanya duduk dan menyimak, tapi badan bisa lelah kayak habis lari. Duduk dalam waktu lama nggak baik juga buat kesehatan.

Abang : mam di sebelah mana sekarang? Itu mangkalnya deket apa?

Mam : ini di emperan mini market banget, sebelah gerobak minuman coklat gitu. Abang mau?

Abang : masih lama nggak benerinnya?

Mam : kayaknya sih lama. Mama kan baru nyampe pas ran nge-WA. Ini payungnya ada lima, punya ran sobek pula ujungnya, harus dijait dulu tuh

Abang : setengah jam ada?

Mam : mungkin. Kenapa emang? Abang mau nitip apa?

Abang : mam, si papah nggak bawa mobil kan hari ini?

Mam : iya, malah pake motor tadi. Padahal katanya mau lembur, kasian nanti pulang kena angin malam. Papamu itu lagi sibuk banget sama tugas-tugas akhir tahun, Wa aja ga respon. Kenapa, abang mau pake mobil?

Abang : tungguin mam, nanti abang jemput pake mobil

“Eh?” Ran mendekatkan mukanya ke layar ponsel.

Ivi melirik Ran lalu menyipitkan mata. Merasa silau walaupun bukan dia yang menatap ponsel dalam jarak dekat.

Mam : abang mau jemput mama ke sini?

Abang : iya, ini mau ke rumah dulu naruh motor

Mam : emang kuliahnya udah selesai?

Abang : dosennya nggak masuk

Mam : oh gitu. eh, bang, bawa jas hujan nggak?

Abang : iya ada

Mam : ok. Jangan lupa payungnya dipake, jarak dari gedung kampus ke parkiran kan lumayan jauh, jangan basah-basahan nanti masuk angin

Jeda sepuluh menit dari WA terakhir mama. Tak ada respon dari abang. Ran sendiri belum mengetik satu katapun sejak tadi. Otaknya seolah beku setelah membaca perjuangan mama melawan hujan, nggak peduli dirinya yang kelelahan dan kedinginan.

Abang : abang udah di mobil. Ini lagi dipanasin dulu. Bentar lagi ke situ. Tungguin ya mam

Mam : iya. Ati-ati jalannya licin

Abang : siap

Ran tersenyum. Ia meninggalkan tiga buah emoticon senyum dengan mata berbentuk hati warna merah. Nggak ada kata yang bisa mewakili suasana hatinya saat ini. Rasanya seperti menonton adegan menggemaskan di drama Korea. Bikin baper dan senyum-senyum sendiri.

Ia menyodorkan ponselnya ke Ivi, memberi isyarat pada sahabatnya untuk membaca jejak obrolan mama dan kakaknya. Selang beberapa waktu, Ivi tengadah menatap Ran, menyerahkan ponsel kembali ke pemiliknya.

“Mama kamu gagah banget ya. Sampe segitunya, bela-belain benerin payung. Padahal capek pulang kerja,” kata Ivi.

Ran mengulum senyum bangga. “Kayaknya nggak cuma mama aku deh. Semua mama pasti bakal gitu kok. Nggak ada kan, mama yang tega liat keluarganya sakit?”

Ivi mengangguk. “Iya sih.”

Ran mengangkat payungnya. “Sini,” ia mengedikkan kepala agar Ivi mendekat dan bergabung di dalam lindungan payung baru. “Yuk, pulang.”

Ivi merangkul lengan Ran dan bergelayut manja. “Aah… males pake payung.”

Ran mendelik. “Heh! Inget bunda. Kalau kamu sakit nanti siapa yang susah?”

“Iya, iya, iya, iya.” Tangan bebas Ivi memegangi batang payung demi menghentikkan omelan Ran tentang betapa pentingnya pakai payung. Ia sadar sakit itu nggak enak, tapi pakai payung, kenapa rasanya malesin banget ya?

**

SELAMAT HARI IBU!!
Sayangi badan kalian, jangan malu bawa payung
menjaga kesehatan juga salah satu cara
buat berbakti sama mamah.
Karena sakit bisa bikin mamah kesusahan.
with Love
-A

do you want to say something?